SELAMAT DATANG DI :

SELAMAT DATANG DI :

BULAN BAHASA - CerPen "KARIMAH"

            Seandainya waktu bisa diputar kembali, tentu saja Karimah tidak akan kehilangan sebuah dompet berisi data yang bukan main pentingnya. Hari yang sungguh membuat Karimah kacau balau, bahkan hampir putus asa dan ingin segera mengakhiri hidupnya dengan cara mengoreskan kaca di lengannya.

             
            Sampai sore berubah menjadi senja buta, awan belum bisa berhenti menangis. Mungkin masih bercakap-cakap kepada cakrawala tentang lautan waktu. Angin sesekali cukup memanah lapisan tulang yang terdalam dan sudah sejak lama pepohonan meliuk-liuk dan menggugurkan dedaunan di sekitar stasiun ini, tempat Karimah melampiaskan perasaan laranya.
            “Kamu yang bernama Karimah, apa yang membuat matamu berkaca-kaca?” tanya petugas stasiun sambil mengedipkan sebelah matanya.
            Mendengar suara seseorang yang tidak dikenalnya dan tiba-tiba saja mengetahui namanya, Karimah terdiam sebentar karena keheranan. Secara perlahan tetapi pasti, Karimah mengusap air matanya yang sudah terlanjur pecah di wajah cantiknya.
            “Afwam, anda ini siapa ya? Bisa mengenal nama saya dari mana?”.
            “Saya tahu kamu dan namamu tidak lain karena terpancar dari wajahmu yang anggun,” ujar petugas stasiun itu, lalu menghampiri Karimah dan duduk di sebelah kanan Karimah. Petugas stasiun itu melemparkan senyum kepada Karimah, kemudian bersiul.
            Karimah mendengarnya lantas tidak mudah tergoda, namun yang jelas ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah itu hanya rayuan gombal belaka? Apa dia hanya bergurau saja? Apa dia kurang waras? Nah, pertanyaan-pertanyaan inilah yang tiba-tiba muncul di dalam benak Karimah. Maka untuk menjawab rasa penasaran hatinya, Karimah memperhatikan sosok di sebelahnya tersebut dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ada yang asing dari penampilan si petugas stasiun ini. Karimah selalu waspada tetapi kali ini dia menaruh kecurigaan yang maha dahsyat. Rasanyan dia akan berbuat yang bukan-bukan terhadap Karimah.
            “Karimah, sejak dulu sampai sekarang, kok kamu masih terlihat awet muda. Sudah awet muda, cantik banget. Lagipula kamu bukan hanya cantik luarnya saja, tapi dalemnya juga cantik. Kamu bagaikan bidadari yang turun dari surga, Karimah.”
            Karimah sekali lagi tidak serta merta tergoda dengan rayuan maut ala petugas stasiun itu. Apapun itu yang dilontarkan oleh si petugas stasiun, Karimah pasti bakal terdiam. Tidak beberapa lama setelah Karimah terdiam, rupanya ia mendapat informasi dari penglihatannya tentang sosok itu. Nama petugas stasiun itu adalah Deanto. Ya, terlihat nama Deanto dari seragam yang dikenakannya. Akan tetapi, rupanya Karimah belum mampu menggunakan ingatannya secara pasti siapakah orang asing itu. Kejadian kehujanan dan hilangnya dompet pasca siang hari itu tentu masih membekas luka di relung hati Karimah, bahkan membuat Karimah benar-benar dirundung pilu sampai otaknya saja tidak mampu menyelidiki siapakah Deanto.
            Belum jelas siapakah sosok Deanto tersebut, tiba-tiba seorang wanita paruh baya dari kejauhan muncul semakin mendekat dan menghampiri Karimah, lalu duduk di sebelah kiri Karimah.
            “Hei, Jeng, kamu mau ke mana sih? Kok sudah jam 7 malam, kamu masih betah di sini? Emangnya kamu nungguin siapa? Dari tadi aku lihatin kok kamu duduk anteng, berdiri terus duduk lagi, ya gitu berulang-ulang. Sebelumnya kamu juga mondar-mandir di depan kursi peron ini. Ada apa denganmu?”
            “Kamu siapa sih? Aku nggak kenal kamu,” tanpa disadari itu diucapkan Karimah dengan suara cukup keras tanpa ada kata maaf.
            “Ya ampun, Jeng, aku kan Vera, temenmu sendiri loh, bahkan temen kamu pada waktu kita ngaji bareng dan arisan ibu-ibu.”
            Tiba-tiba gemuruh petir terdengar keras seperti menghantam mereka di stasiun ini. Karimah pun kaget. Jantungnya seperti terlontar jauh. Tanpa Karimah sadari, ternyata ketika dentuman keras petir menyambar cakrawala, Karimah ternyata pada saat itu juga memeluk Deanto.
            “Kamu ngapain memeluk aku sih? Aku tuh nggak kenal kamu. Bukan muhrim kok peluk-peluk sih, jangan keganjenan ya. Aku tuh wanita baik-baik,” ujar Karimah yang lumayan keras dan kasar kepada Deanto, bahkan hampir menendang bokong Deanto.
            “Sakitnya tuh di sini, Kar,” kata Deanto sambil mengelus-elus dada kiri.
            “Aku nggak peduli ya, kamu sakit atau nggak, tapi kamu yang nggak sopan memeluk aku. Emangnya kamu tuh siapaku sih? Suami bukan, pacar bukan, malaikat penjagaku juga bukan. Meskipun aku masih jomblo karena aku seorang jandawati, tetapi aku masih punya harga diri.”
            “Tapi Kar, kan kamu tadi yang memeluk aku. Bukan aku duluan lho.”
            “Ah, alasan kamu. Tadi kamu bilang aku anggun kan dan kamu pasti tergoda dengan pesona anggunku bukan?”
            “Jujur aku suka dengan parasmu yang cantik, Kar, tetapi aku sebagai seorang laki-laki harus mencari jalan keadilan dari tuduhan kamu tadi.”
            “Ala, alesan kamu, cuih,” ucap Karimah yang bertolak pinggang sambil meludahi Deanto.
            Dalam hati masing-masing jelas saja kesal, kecuali si Vera. Karena merasa ada orang selain Karimah dan Deanto, maka hal inilah yang dimanfaatkan Karimah menjadikan Vera sebagai saksi.
            “Ayo mbak, kita lapor ke polisi atas tindakan pelecehan dan kamu jadi saksinya ya. Kita sebagai seorang perempuan harus menjaga martabat kita bahkan sampai berurusan ke meja hijau walau sampai bermilyar-milyar kali pun,” ujar Karimah mantap.
            “Hei, kamu, Karimah, namaku bukan Mbak, tetapi Vera, ingat ya Vera. Jadi, Vera bukan yang lain. Kamu ngerti nggak?”
            Namun Karimah hanya menggelengkan kepalanya, lalu berkata “Nggak.”
            “Cape Deh!”
            Namun meskipun Karimah memohon Vera untuk menjadi saksi ketika melapor ke polisi, akan tetapi Vera rupanya tidak melihat siapa yang duluan memeluk, apakah itu Karimah atau Deanto. Saat petir itu bergemuruh, Vera saja malah langsung bersujud dan berteriak “Allahu Akbar”

            Deanto yang mendengar dengan mata telinganya sendiri lalu langsung membela dirinya dan melakukan pembenaran atas kejadian itu seadil-adilnya tanpa memihak. Deanto yang merasa difitnah oleh Karimah membuatnya semakin tambah sengit dan membenci Karimah.
            “Aduh, duh-duh, duh-duh, acicicaca, aaaww!” teriak Deanto.
            “Eh, kamu jangan pura-pura cari perhatian gitu deh. Udah sok kece, sok gatel lagi!” bentak Deanto.
            “Aduh, Kar, bukan masalah itu, tapi sepatu hak tinggimu ituloh menginjak kakiku.”
            Karimah melihat ke bawah dan ternyata Karimah memang menginjak kaki Deanto. Kebetulan saat itu, Deanto tidak menggunakan sepatu saat berjaga malam. Dengan berbekal sendal jepit, sarung dan seragam bertuliskan namanya, Deanto tetap mempunyai semangat empat puluh lima ketika bertugas. Namun, Karimah ternyata tetap menginjak kaki Deanto padalah wajah Deanto telah memelas. Parahnya lagi, sepasang sepatu hak tinggi Karimah dengan sengaja menginjak kaki Deanto sampai Deanto kesakitan.
            “Biarin ya, aku nggak akan melepaskan injakanku. Rasain, biar tahu rasa, kamu,” ujar Karimah.
            “Aw...aw...aw..adah...aciaciah...asemelekete...adauwah..”
            Vera melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang tengah diperbuat oleh Karimah kepada Deanto. Secara langsung, Vera menghardik Karimah supaya menghentikan tindakannya yang brutal dan sungguh jahanam itu.
            “Apa-apaan kamu, Kar. Kamu nggak kasian apa sama dia. Deanto itu kan mantan kekasih kamu dulu tahu. Kita kan dulu juga pernah temenan bahkan sampai akrab seperti upin dan ipin.”
            Sontak, Karimah makin panas mendengar apa yang dikatakan Vera. Karimah segera berdiri dan injakannya semakin kuat dan gantian menghardik Vera. Deanto menjerit melebihi suara kereta yang melintas di hadapannya. Dia kemudian memohon Karimah untuk melepaskan injakannya.
            “Apah, petugas stasiun yang gak jelas ini adalah mantan kekasihku? Apa aku nggak salah denger ya? Lagian kamu itu siapa sih? Aku nggak kenal kamu tahu. Jangan-jangan kamu sekongkol sama dia ya?”
            “Heh, Karimah, aku peringatkan sekali lagi ya, kamu itu jangan seperti bulu yang lupa sama keteknya. Kamu masa nggak inget kita dulu pas masih SMA pernah makan kecoa bareng, minum kopi bareng, salat bareng, tidur bareng, cuci jilbab bareng, berwudu bareng, lipstikan bareng sama jalan-jalan bareng. Hei, kemana ingatanmu, Karimah?”
            “Apaan tuh kecoa? Emang kita pernah makan kecoa?”
            “Kecoa itu kan istilah kita dulu, Karimah. Kecoa itu singkatan dari keripik coabai.”
            Karimah hanya garuk-garuk kepalanya. Ia semakin bingung. Karimah mencoba mencubit lengannya, tetapi ia tidak ada rasa sakit sedikit pun, lalu Karimah berlari dan membenturkan kepalanya ke tembok agar ia ingat siapa Vera dan Deanto. Karimah juga tidak merasakan sakit ketika benturan keras kepalanya dengan lantai.
            “Karimah tunggu kamu mau ke mana?”
            “Hei, sudah Karimah jangan lakukan hal yang aneh-aneh lagi.”
            Panggilan dari Deanto dan Vera tidak dihiraukanya. Karimah terus berlari dan berlari sampai ia jatuh ke bawah peron.
            “Karimah...awas...” ujar Deanto dan Vera yang pada saat itu juga berlari.
            “Duar....Aaaa...Jedess”
            Sekejap Karimah tersambar kereta api yang melintas secepat kilat. Celakanya senja kini memang kereta tidak berhenti di stasiun ini karena sudah terjadwal. Tubuh Karimah terpental begitu jauh. Entah ke mana larinya jasad Karimah tergeletak. Wajah Deanto dan Vera menegang sekali. Vera bahkan sampai pingsan. Terpaksa Deanto yang membopong Vera ke alam BAKA (BAntal KAsur)
            ***
            Sehari kemudian, di pemakaman, Deanto tertunduk begitu lesu. Senyum bekunya berkata, “Selamat jalan dan sampai jumpa di alam keabadian.” Tetes demi tetes air mata menghiasi wajah Deanto. Hanya Deanto lah yang masih tersisa dan belum beranjak pulang dari pemakaman itu.
            “Karimah, aku adalah korban perasaan. Ya, walaupun kamu kemarin judes sama aku dan kasar, tetapi aku masih sayang sama kamu, bahkan walau kutahu kamu menjanda, aku tidak akan pernah ilfil sama kamu. Aku akan selalu setia meski cintaku bertepuk sebelah kaki,” ucap Deanto sambil mengecup batu nisan yang bertuliskan nama Karimah.
            Tiba-tiba hadirlah sosok Karimah di dekatnya sedang tersenyum. Dia menggunakan gaun putih dilengkapi jilbab. Karimah terlihat cantik sekali. Auranya begitu terpancar, lalu menyapa Deanto, “Dean, kamu sedang apa?”
            Deanto begitu senang sekali melihat Karimah tampil begitu aduhai. Hati Deanto mekar kembali dan langsung saja menghampiri untuk memeluk Karimah.
            “Oh, Karimah, kaulah bidadari surgaku,” kata Deanto.
            Dari luar pemakaman ini, tukang gali kuburan yang bernama Anggit dan Bagoy melihat seseorang laki-laki paruh baya sedang memeluk pohon kamboja dan tidak lain seseorang itu adalah Deanto.
S – E – L – E – S – A – I
Yogyakarta, 08 September 2015

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, waktu dan peristiwa ataupun  cerita, hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Like, Share, Kritik dan Saran (Komentar) sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas karya di masa yang akan datang
Terima kasih atas kunjungannya

           
           
           
           
           
           
           

2 Responses to "BULAN BAHASA - CerPen "KARIMAH""