Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya negara yang kita cintai ini, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 setelah Cina, Amerika Serikat, dan India. Populasi penduduk yang banyak itulah mendorong banyaknya keanekaragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat dan agama.
Dengan jumlah
penduduk yang besar itulah, Indonesia menduduki posisi pertama sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di Dunia. Berangkat dari hal inilah,
Indonesia banyak sekali menjamur lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat
Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah sampai
ke perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam tersebar di seluruh pelosok nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah ulama dan pemikir Islam sejak dahulu hingga sekarang. Para ulama dan
pemikir Islam itu diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
agama yang tidak lain bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bagi agama, bangsa
dan dalam berkehidupan bernegara.
Berkenaan dengan hal tersebut, hadis sebagai bagian dari pangkal ajaran Islam di Indonesia otomatis ikut masuk bersamaan dengan penyebaran agama Islam
di Indonesia. Sementara itu, kajian Hadis tampak mengalami ketertinggalan dalam perkembangannya dibandingkan dengan bidang-bidang kajian Islam lainnya. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya, Hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian Islam karena pada hakikatnya Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Oleh karena itulah, Hadis tidak mungkin terabaikan. Namun, kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan kajian Hadis di Indonesia sekarang ini mengalami ketertinggalan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Lalu apakah penyebab dari menurunnya sebuah kajian hadis, bahkan mengalami kualitas yang sepertinya terabaikan? Apakah penyebab
tersebut karena tidak lain adalah budaya bangsa kita sendiri
yang mulai luntur karena pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia, sehingga
kaum remaja lebih tertarik menikmati dunia yang lebih condong ke barat daripada
ke timur?
Dalam pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab tadi insya Allah akan sedikit terjawab
mengenai pembahasan yang akan dipaparkan berikut. Berkaitan dengan itulah, kita
perlu menyelisik kajian-kajian mengenai pembaharuan Islam di Nusantara dalam rentang
abad ke 13 – 20 Masehi selama ini sebagian yang pada besarnya sudah terfokus pada
bidang pendidikan secara umum, sementara kajian mengenai hadis masih amat sangat
jarang ditemukan. Karena itu, pengkajian tentang hadis itu penting dan sangat diperlukan sampai kapanpun.
Kajian Hadis di lndonesia masih dalam permulaan. Hal ini tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur Hadis, jumlah para sarjana dan pakar Hadis yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keterbatasan
kajian Hadis di lndonesia juga tercermin pada metode dan hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-Iembaga yang berkuasa memberikan fatwa. Pada abad
XVII dan XVIII, buku-buku tentang fiqh, tafsir, dan tasawuf yang menggunakan bahasa Indonesia atau
Melayu telah banyak beredar di Nusantara. Misalnya, di bidang fiqh, kitab Mir’ât
al-Tullâb karya Abdul Ra’uf al-Sinkili (w. 1693M)[1] yang ditulis pada abad
ke-17, Hidâyah 'Awwâm karya Syekh Jalaluddin yang ditulis pada tahun 1719,[2] Sabîl
al-Muhtadîn karya Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812M) yang ditulis pada tahun
1778,[3] di bidang tasawuf Kifâyah al-Muhtâjîn karya Abd al-Rauf al-Sinkili;[4]
di bidang tafsir Tarjuman al-Mustafîd yang juga ditulis Abd al-Rauf al-Sinkili.[5]
Kitab-kitab tersebut merupakan contoh kecil dari karya para ulama Nusantara. Karya-karya ini tidak menunjukkan satu pun dari bidang Hadis atau ilmu Hadis.
Memang ditemukan sebuah kitab yang berjudul Kitâb al-Hadîs al-Musamma bi Syifâ' al-Qulûb yang ditulis ulama Aceh bemama Syekh Abdullah. Namun, ternyata kitab ini tidak membahas hadis-hadisnya dari aspek Hadis dan tidak pula membahas ilmu Hadis. Hadisnya ditulis
tanpa sanad, tanpa rujukan sumber asli Hadis, dan orientasinya adalah tasawuf.[6]
Dari data penelitian pada tahun 2005 terhadap manuskrip dan kitab-kitab lama di
perpustakaan Ali Hasymy di Banda Aceh, ditemukan bermacam-macam tulisan di bidang
fiqh, tasawur, tafsir, dan nahwu, tetapi tidak satu pun menyangkut Hadis. Sarjana
Belanda, Kaarel Stembrink juga pernah mengatakan bahwa ketika melakukan penelitian
tentang kitab-kitab Agama di Perpustakaan Nasional Jakarta, ia tidak menemukan satu
pun kitab Hadis atau ilmu Hadis karya ulama Indonesia.[7] Namun demikian,
sebagai sumber kedua hukum Islam sesudah aI-Quran, Hadis tidak mungkin diabaikan
begitu saja. Dalam mengkaji apa pun di bidang agama, Hadis sekurang-kurangnya
menjadi andil dalam suatu bagian dari pembahasannya.
Sehubungan dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka perkembangan kajian Hadis perlu dikaji secara lebih luas. Dengan demikian,
masalah pokok dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana sebenarnya
perkembangan kajian Hadis di lndonesia dalam kurun abad XVII sampai XIX? Hal apa yang melatarbelakangi
ketersisihan kajian hadis dalam dunia keilmuan Islam Indonesia abad XVII sampai
XIX?
Yogyakarta, 18 Desember 2015
A. Dirham
NIM 154 900 25
Artikel ini dibuat berdasarkan sumber referensi atau berdasarkan
eksperimen pengarang. Tak ada gading yang tak retak, ya begitulah
sekiranya peribahasa yang sesuai dari blog sederhana ini. Tidak ada yang sempurna dan masih banyak kekurangan baik isi, informasi maupun apapun itu dari blog sederhana ini.
Oleh karena itulah, blog sederhana ini membutuhkan Like, Share, Kritik dan
Saran, Komentar yang membangun dan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas karya di masa
yang akan datang.
Terima
kasih atas kunjungannya.
0 Response to "PERKEMBANGAN KAJIAN HADIS DI INDONESIA"
Post a Comment