Seandainya waktu bisa
diputar kembali, tentu saja Karimah tidak akan kehilangan sebuah dompet berisi
data yang bukan main pentingnya. Hari yang sungguh membuat Karimah kacau balau,
bahkan hampir putus asa dan ingin segera mengakhiri hidupnya dengan cara mengoreskan
kaca di lengannya.
Sampai sore berubah
menjadi senja buta, awan belum bisa berhenti menangis. Mungkin masih
bercakap-cakap kepada cakrawala tentang lautan waktu. Angin sesekali cukup
memanah lapisan tulang yang terdalam dan sudah sejak lama pepohonan meliuk-liuk
dan menggugurkan dedaunan di sekitar stasiun ini, tempat Karimah melampiaskan
perasaan laranya.
“Kamu yang bernama
Karimah, apa yang membuat matamu berkaca-kaca?” tanya petugas stasiun sambil
mengedipkan sebelah matanya.
Mendengar suara
seseorang yang tidak dikenalnya dan tiba-tiba saja mengetahui namanya, Karimah
terdiam sebentar karena keheranan. Secara perlahan tetapi pasti, Karimah
mengusap air matanya yang sudah terlanjur pecah di wajah cantiknya.
“Afwam, anda ini
siapa ya? Bisa mengenal nama saya dari mana?”.
“Saya tahu kamu dan
namamu tidak lain karena terpancar dari wajahmu yang anggun,” ujar petugas
stasiun itu, lalu menghampiri Karimah dan duduk di sebelah kanan Karimah.
Petugas stasiun itu melemparkan senyum kepada Karimah, kemudian bersiul.
Karimah mendengarnya
lantas tidak mudah tergoda, namun yang jelas ia bertanya-tanya pada dirinya
sendiri. Apakah itu hanya rayuan gombal belaka? Apa dia hanya bergurau saja?
Apa dia kurang waras? Nah, pertanyaan-pertanyaan inilah yang tiba-tiba muncul
di dalam benak Karimah. Maka untuk menjawab rasa penasaran hatinya, Karimah
memperhatikan sosok di sebelahnya tersebut dengan seksama dari ujung kaki
hingga ujung rambut. Ada yang asing dari penampilan si petugas stasiun ini.
Karimah selalu waspada tetapi kali ini dia menaruh kecurigaan yang maha
dahsyat. Rasanyan dia akan berbuat yang bukan-bukan terhadap Karimah.
“Karimah, sejak dulu
sampai sekarang, kok kamu masih terlihat awet muda. Sudah awet muda, cantik
banget. Lagipula kamu bukan hanya cantik luarnya saja, tapi dalemnya juga
cantik. Kamu bagaikan bidadari yang turun dari surga, Karimah.”
Karimah sekali lagi
tidak serta merta tergoda dengan rayuan maut ala petugas stasiun itu. Apapun
itu yang dilontarkan oleh si petugas stasiun, Karimah pasti bakal terdiam.
Tidak beberapa lama setelah Karimah terdiam, rupanya ia mendapat informasi dari
penglihatannya tentang sosok itu. Nama petugas stasiun itu adalah Deanto. Ya,
terlihat nama Deanto dari seragam yang dikenakannya. Akan tetapi, rupanya
Karimah belum mampu menggunakan ingatannya secara pasti siapakah orang asing
itu. Kejadian kehujanan dan hilangnya dompet pasca siang hari itu tentu masih
membekas luka di relung hati Karimah, bahkan membuat Karimah benar-benar
dirundung pilu sampai otaknya saja tidak mampu menyelidiki siapakah Deanto.
Belum jelas siapakah
sosok Deanto tersebut, tiba-tiba seorang wanita paruh baya dari kejauhan muncul
semakin mendekat dan menghampiri Karimah, lalu duduk di sebelah kiri Karimah.
“Hei, Jeng, kamu mau
ke mana sih? Kok sudah jam 7 malam, kamu masih betah di sini? Emangnya kamu
nungguin siapa? Dari tadi aku lihatin kok kamu duduk anteng, berdiri terus
duduk lagi, ya gitu berulang-ulang. Sebelumnya kamu juga mondar-mandir di depan
kursi peron ini. Ada apa denganmu?”
“Kamu siapa sih? Aku
nggak kenal kamu,” tanpa disadari itu diucapkan Karimah dengan suara cukup
keras tanpa ada kata maaf.
“Ya ampun, Jeng, aku
kan Vera, temenmu sendiri loh, bahkan temen kamu pada waktu kita ngaji bareng
dan arisan ibu-ibu.”
Tiba-tiba gemuruh
petir terdengar keras seperti menghantam mereka di stasiun ini. Karimah pun
kaget. Jantungnya seperti terlontar jauh. Tanpa Karimah sadari, ternyata ketika
dentuman keras petir menyambar cakrawala, Karimah ternyata pada saat itu juga
memeluk Deanto.
“Kamu ngapain memeluk
aku sih? Aku tuh nggak kenal kamu. Bukan muhrim kok peluk-peluk sih, jangan
keganjenan ya. Aku tuh wanita baik-baik,” ujar Karimah yang lumayan keras dan
kasar kepada Deanto, bahkan hampir menendang bokong Deanto.
“Sakitnya tuh di
sini, Kar,” kata Deanto sambil mengelus-elus dada kiri.
“Aku nggak peduli ya,
kamu sakit atau nggak, tapi kamu yang nggak sopan memeluk aku. Emangnya kamu
tuh siapaku sih? Suami bukan, pacar bukan, malaikat penjagaku juga bukan.
Meskipun aku masih jomblo karena aku seorang jandawati, tetapi aku masih punya
harga diri.”
“Tapi Kar, kan kamu
tadi yang memeluk aku. Bukan aku duluan lho.”
“Ah, alasan kamu.
Tadi kamu bilang aku anggun kan dan kamu pasti tergoda dengan pesona anggunku
bukan?”
“Jujur aku suka
dengan parasmu yang cantik, Kar, tetapi aku sebagai seorang laki-laki harus
mencari jalan keadilan dari tuduhan kamu tadi.”
“Ala, alesan kamu,
cuih,” ucap Karimah yang bertolak pinggang sambil meludahi Deanto.
Dalam hati
masing-masing jelas saja kesal, kecuali si Vera. Karena merasa ada orang selain
Karimah dan Deanto, maka hal inilah yang dimanfaatkan Karimah menjadikan Vera
sebagai saksi.
“Ayo mbak, kita lapor
ke polisi atas tindakan pelecehan dan kamu jadi saksinya ya. Kita sebagai
seorang perempuan harus menjaga martabat kita bahkan sampai berurusan ke meja
hijau walau sampai bermilyar-milyar kali pun,” ujar Karimah mantap.
“Hei, kamu, Karimah,
namaku bukan Mbak, tetapi Vera, ingat ya Vera. Jadi, Vera bukan yang lain. Kamu
ngerti nggak?”
Namun Karimah hanya
menggelengkan kepalanya, lalu berkata “Nggak.”
“Cape Deh!”
Namun meskipun
Karimah memohon Vera untuk menjadi saksi ketika melapor ke polisi, akan tetapi
Vera rupanya tidak melihat siapa yang duluan memeluk, apakah itu Karimah atau
Deanto. Saat petir itu bergemuruh, Vera saja malah langsung bersujud dan
berteriak “Allahu Akbar”
Deanto yang mendengar
dengan mata telinganya sendiri lalu langsung membela dirinya dan melakukan
pembenaran atas kejadian itu seadil-adilnya tanpa memihak. Deanto yang merasa
difitnah oleh Karimah membuatnya semakin tambah sengit dan membenci Karimah.
“Aduh, duh-duh,
duh-duh, acicicaca, aaaww!” teriak Deanto.
“Eh, kamu jangan
pura-pura cari perhatian gitu deh. Udah sok kece, sok gatel lagi!” bentak
Deanto.
“Aduh, Kar, bukan
masalah itu, tapi sepatu hak tinggimu ituloh menginjak kakiku.”
Karimah melihat ke
bawah dan ternyata Karimah memang menginjak kaki Deanto. Kebetulan saat itu,
Deanto tidak menggunakan sepatu saat berjaga malam. Dengan berbekal sendal
jepit, sarung dan seragam bertuliskan namanya, Deanto tetap mempunyai semangat
empat puluh lima ketika bertugas. Namun, Karimah ternyata tetap menginjak kaki
Deanto padalah wajah Deanto telah memelas. Parahnya lagi, sepasang sepatu hak
tinggi Karimah dengan sengaja menginjak kaki Deanto sampai Deanto kesakitan.
“Biarin ya, aku nggak
akan melepaskan injakanku. Rasain, biar tahu rasa, kamu,” ujar Karimah.
“Aw...aw...aw..adah...aciaciah...asemelekete...adauwah..”
Vera melihat dengan
mata kepalanya sendiri apa yang tengah diperbuat oleh Karimah kepada Deanto.
Secara langsung, Vera menghardik Karimah supaya menghentikan tindakannya yang
brutal dan sungguh jahanam itu.
“Apa-apaan kamu, Kar.
Kamu nggak kasian apa sama dia. Deanto itu kan mantan kekasih kamu dulu tahu.
Kita kan dulu juga pernah temenan bahkan sampai akrab seperti upin dan ipin.”
Sontak, Karimah makin
panas mendengar apa yang dikatakan Vera. Karimah segera berdiri dan injakannya
semakin kuat dan gantian menghardik Vera. Deanto menjerit melebihi suara kereta
yang melintas di hadapannya. Dia kemudian memohon Karimah untuk melepaskan
injakannya.
“Apah, petugas
stasiun yang gak jelas ini adalah mantan kekasihku? Apa aku nggak salah denger
ya? Lagian kamu itu siapa sih? Aku nggak kenal kamu tahu. Jangan-jangan kamu
sekongkol sama dia ya?”
“Heh, Karimah, aku
peringatkan sekali lagi ya, kamu itu jangan seperti bulu yang lupa sama
keteknya. Kamu masa nggak inget kita dulu pas masih SMA pernah makan kecoa
bareng, minum kopi bareng, salat bareng, tidur bareng, cuci jilbab bareng,
berwudu bareng, lipstikan bareng sama jalan-jalan bareng. Hei, kemana
ingatanmu, Karimah?”
“Apaan tuh kecoa?
Emang kita pernah makan kecoa?”
“Kecoa itu kan
istilah kita dulu, Karimah. Kecoa itu singkatan dari keripik coabai.”
Karimah hanya
garuk-garuk kepalanya. Ia semakin bingung. Karimah mencoba mencubit lengannya,
tetapi ia tidak ada rasa sakit sedikit pun, lalu Karimah berlari dan
membenturkan kepalanya ke tembok agar ia ingat siapa Vera dan Deanto. Karimah
juga tidak merasakan sakit ketika benturan keras kepalanya dengan lantai.
“Karimah tunggu kamu
mau ke mana?”
“Hei, sudah Karimah
jangan lakukan hal yang aneh-aneh lagi.”
Panggilan dari Deanto
dan Vera tidak dihiraukanya. Karimah terus berlari dan berlari sampai ia jatuh
ke bawah peron.
“Karimah...awas...”
ujar Deanto dan Vera yang pada saat itu juga berlari.
“Duar....Aaaa...Jedess”
Sekejap Karimah
tersambar kereta api yang melintas secepat kilat. Celakanya senja kini memang
kereta tidak berhenti di stasiun ini karena sudah terjadwal. Tubuh Karimah
terpental begitu jauh. Entah ke mana larinya jasad Karimah tergeletak. Wajah
Deanto dan Vera menegang sekali. Vera bahkan sampai pingsan. Terpaksa Deanto
yang membopong Vera ke alam BAKA (BAntal KAsur)
***
Sehari kemudian, di
pemakaman, Deanto tertunduk begitu lesu. Senyum bekunya berkata, “Selamat jalan
dan sampai jumpa di alam keabadian.” Tetes demi tetes air mata menghiasi wajah
Deanto. Hanya Deanto lah yang masih tersisa dan belum beranjak pulang dari
pemakaman itu.
“Karimah, aku adalah
korban perasaan. Ya, walaupun kamu kemarin judes sama aku dan kasar, tetapi aku
masih sayang sama kamu, bahkan walau kutahu kamu menjanda, aku tidak akan
pernah ilfil sama kamu. Aku akan selalu setia meski cintaku bertepuk sebelah
kaki,” ucap Deanto sambil mengecup batu nisan yang bertuliskan nama Karimah.
Tiba-tiba hadirlah
sosok Karimah di dekatnya sedang tersenyum. Dia menggunakan gaun putih
dilengkapi jilbab. Karimah terlihat cantik sekali. Auranya begitu terpancar,
lalu menyapa Deanto, “Dean, kamu sedang apa?”
Deanto begitu senang
sekali melihat Karimah tampil begitu aduhai. Hati Deanto mekar kembali dan
langsung saja menghampiri untuk memeluk Karimah.
“Oh, Karimah, kaulah
bidadari surgaku,” kata Deanto.
Dari luar pemakaman
ini, tukang gali kuburan yang bernama Anggit dan Bagoy melihat seseorang
laki-laki paruh baya sedang memeluk pohon kamboja dan tidak lain seseorang itu
adalah Deanto.
S – E – L – E – S – A – I
Yogyakarta, 08 September 2015
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika
ada kesamaan nama tokoh, tempat, waktu dan peristiwa ataupun cerita, hanyalah kebetulan semata dan tidak
ada unsur kesengajaan.
Like, Share, Kritik dan Saran
(Komentar) sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas karya di masa yang akan
datang
Terima kasih atas kunjungannya
nice
ReplyDeleteتحميل برنامج بلو ستاك مجانا
تحميل برنامج تعريف كارت الصوت لاي جهاز مجانا
تحميل برنامج واتس اب عربي 2016 مجانا
تحميل برنامج كيو كيو بلاير 2016 مجانا
تحميل برنامج انترنت داونلود مانجر 2016 مجانا
@ Mohammed Ahmed : Thanks for your valuation and attention my genre fiction of short story because you've read it. Thanks yes. Don't forget for read another literature arts in Dunia Pengetahuan Pendidikan dan Sastra,
ReplyDelete