“MANUSIA-MANUSIA
SETENGAH DEWA DAN KEPOMPONG”
Karya
: Dirham Adenar
Saya
tiada dapat memungkiri dan mengerti mengapa Matematika seolah menjadi hal yang
sangat mengerikan, bahkan hingga melukiskan sejarah bahwa diriku pernah
mendapat nilai nol saat SMA?
“Matematika? Hm...” gumamku sembari
menggeleng-gelengkan kepalaku. Wajahku dirundung pucat. Jantung serasa berdegup
ribuan kali lebih cepat. Wah, apakah hari ini adalah kecelakaan terbesarku?
Ya,
begitulah saat ulangan Matematika menunjukkan soal yang amat menakutkan. Siapapun
akan cemas, kecuali Si Manusia Setengah Dewa. Yang kumaksud Si Manusia Setengah
Dewa adalah sahabatku yang mampu menerima pelajaran rumit dengan baik. Entah
mengapa yang kusebut Si Manusia Setengah Dewa itu selalu menunjukkan raut wajah
yang selalu ramah seperti tanpa beban. Padahal soal matematika menerkam
siapapun di ruangan kelas ini tanpa ampun.
“Aduh...” bisikku dalam hati.
Aku nyaris putus asa dengan
matematika. Harapan mendapat nilai delapan atau sembilan seolah menjadi sirna.
Aku tiada dapat memungkiri bahwa aku agak sulit untuk fokus mengerjakan soal
itu dan entah mengapa ada saja bayang-bayang yang hinggap di benakku bahwa aku
akan mendapat nilai nol.
Kini telah berlangsung lima menit.
Soal matematika di hadapanku belum ada satupun yang kukerjakan. Sungguh, aku
seperti dirundung rasa frustasi. Diriku seperti tiada berdaya melihat soal yang
begitu membuatku makin tercengang. Khawatir jelas saja menyelinap di dalam
batinku. Kalau sampai dua puluh menit atau lebih dari setengah jam, kertas
jawaban masih putih bersih belum ada satupun coretan, maka tentu saja nilaiku
akan jelek. Ya, itulah logika matematika yang ternyata Pak Dedi Auron dengan
sengaja menulisnya dalam soal. Kurang asem ya Bro? Dan saya tidak tahu
nantinya, nilai akan jelek, jelek sekali atau benar-benar mengulang sejarah
lagi mendapat nilai nol. Saya pun bergumam sendiri.
“Kamu kenapa?” tanya sahabatku Asih
dengan lirih. Dia merupakan salah satu sahabat yang kusebut Manusia Setengah
Dewa.
“Oh, Eee..tidak apa-apa, Asih,”
jawabku seperti hadir berjuta beban.
“Serius?”
“Ya...”
Asihpun memalingkan wajahnya, lalu
menembakkan sorot matanya ke soal matematika itu. Diapun memainkan pensil
dengan lincah. Ah, sampai-sampai pensil dibuatnya menari balet karena terlalu
lincah. Aku melihatnya ada energi yang membuat otaknya encer. Entah mantra apa
yang ia miliki. Mungkinkah Asih memang benar-benar terlalu banyak minum oplosan
hingga otaknya menjadi barang oplosan yang akhirnya menjadikan otaknya encer?
Semua pertanyaan-pertanyaan dalam
benakku belum bisa saya jawab sekarang. Mungkinkah dia pikir aku baik-baik saja
padahal sebenarnya aku terguncang. Apakah dia tidak paham bahwa ketika aku
berbincang dengan dirinya, lidahku agak kelu? Mungkin saja dia tidak peka atau
karena terlalu serius mengerjakan soal? Pertanyaan-pertanyaan itu masih saja
hinggap di benakku. Aku berbohong pada diriku sendiri kalau aku baik-baik saja,
padahal yang sesungguhnya aku belum bisa. Tetapi aku keterlaluan, kenapa ketika
sedang ulangan aku pun juga belum bisa? Ah, aku tidak tahu dan betapa lalainya
diriku. Ada sesal yang tiba-tiba menusuk otakku. Kenapa tadi aku tidak bilang
kepada Asih untuk memberikan jawaban pilihan ganda padaku? Ya, setidaknya kan
tiga atau lima soal pilihan ganda kujawab, maka aku yakin peluang mendapat
nilai nol akan lenyap dan tentu saja akan kupaksakan diri ini agar fokus,
meskipun sebenarnya tidak mungkin. Namun, bila aku menanyakan jawaban soal
matematika, maka itu sama saja dengan menyontek. Bukankah koruptor terlahir
karena suka menyontek ketika masa sekolah?
Waktupun terus berjalan dan tidak
terasa sudah tiga puluh menit dengan kertas jawaban yang masih kosong
melompong. Sontak pikiranku tidak keruan, kacau dan panik ketika guruku melontarkan
pernyataan, “Anak-anakku yang sebagian rajin dan sebagian tidak rajin... waktu
mengerjakan soal tinggal lima belas menit lagi ya dan setelah itu kalian boleh
meninggalkan ruangan untuk ngapain aja boleh.”
Ya Allah, Ya Tuhanku, dapatkah aku
mengerjakan soal. Kuharap ada keajaiban datang. Masya Allah, ternyata bukan
hanya aku saja yang dilanda perasaan terguncang ini, tetapi juga Si Manusia
Kepompong. Ya, kulihat di bangku paling belakang, ada lima temanku tertidur pulas,
yakni Anggit Parker, Andi Kangen Band, Nugi Fadillah, Rama Michael dan Ikko
Uwais. Kuperhatikan dengan seksama teman yang paling belakang, dua dari lima
diantaranya rupanya sudah kejadian. Ups, mereka membuat sungai air liur yang
mengalir begitu lancarnya karena saking nyenyaknya tidur. Dengkurannya cukup
keras, buktinya sampai masuk ke lorong telingaku meskipun terdengar agak samar.
Posisi tempat dudukku sekarang adalah di tengah, baris ke tiga dari depan dan
baris ke tiga pula dari belakang. Namun, sepertinya guru matematikaku, Pak Dedi
Auron tidak mengetahui perihal yang kulihat.
Jarum jam terus bergerak dan lima
menit lagi, ulangan matematika akan berakhir. Aku kemudian berdoa dan berdoa.
Menenangkan diriku sebisa mungkin. Aku mengelus dadaku, lalu menarik nafas
dalam-dalam kemudian mengembuskannya kuat-kuat.
“Asih, pilihan ganda nomor delapan
jawabannya apa?”
“Nomor berapa?” ujarnya yang balik
bertanya.
Tiba-tiba suara bak petir mengelegar
di tengah suasana senyap di ruangan ini, “Hai kalian! Asih kamu kenapa menengok
ke belakang? Kalau sudah selesai tidak usah diskusi dan kumpulkan. Mengerti?”
“Ya, Pak.”
Aduh, celakanya Asih sampai dibentak
Pak Dedi Auron yang mengaku menjadi manusia terganteng Se-Korea ketika menulis
soal di “Logika Matematika”. Sial bagi diriku juga saat itu, melihat Asih
beranjak dari kursi, lalu menyeret soal dan jawaban kemudian membawanya. Tapi
celakanya, beberapa langkah ketika akan menyerahkan soal dan jawaban, Asih
tersungkur karena tersandung sebuah kaki. Ternyata pemilik kaki itu adalah...
Baguse Alie Siddique. Beruntung, Pak Dedi Auron tahu soal itu dan langsung
menegur Baguse.
“Hai, Baguse, mengapa kau
menjulurkan kakimu ke lantai hingga membuat Asih terjatuh dan tak bisa bangkit
lagi?”
“Karena Aku tenggelam dalam luka
dalam, aku tersesat pada soal matematika Bapak Auron, aku tanpa Asih bagaikan
butiran salju karena cintaku bagaikan bola salju,” ujar Baguse sambil senyum
kecil.
“Ciieee....”
“Cinta? Sudah-sudah, jangan pikirkan
itu. Lebih baik kamu kerjakan soal matematikamu. Oh, ya jangan lupa minta maaf
sama Asih. Lagipula kamu sengaja ya membuat Asih terjatuh ke lantai? Iya kan?”
geram Pak Dedi Auron sambil emosi berat dia sempat meremas-remas telapak
tangannya yang tidak lain pasti ingin meninju seseorang.
“Kalau, iya kenapa? Pak Dedi Auron
gak suka?”
“Jelas gak suka,” marah Pak Dedi
sambil menghampiri Baguse dan sempat menonjok Baguse, tapi sebelum tinju itu
menghantam pipi Baguse, tangan Pak Dedi Auron di halau Bos Gede Aulia dan You
Landa.
“Cukup, Pak. Jangan lakukan itu...”
kata Aulia dan You Landa.
“Kenapa sih bapak terlalu egois dan
emosian, jangan-jangan karena Asih anak kesayangan bapak, jadi bapak seenaknya
sendiri memperlakukan saya seperti ini, bahkan mau menonjok saya. Salah saya
apa, Pak? Bapak jangan pilih Asih, eh, maaf pilih Kasih maksud saya. Saya kan
juga jago matematika, saya juga pinter, smart, cerdas, briliant. Otak saya
bahkan lebih dari Einsten dan bapak bisa buktikan sendiri sekarang juga.”
“Emang IQ kamu berapa? Sok banget
kamu. Coba saya tantang kamu mengerjakan soal-soal Olimpiade Matematika tingkat
Dunia-Akhirat”
“Sudah-sudah, ini bapak sama anak
ribut melulu, pusing saya, puusssiiiinnnnngggggg....” ujar Suryo.
“Kalau pusing, minum dulu sana.”
“Minum apa ya Pak?”
“Ya, Bodrexin..”
“Emang saya anak kesayangan bapak
yang tiap hari minum Bodrexin?” kata Suryo menantang.
“Eh, kenapa jadi bawa-bawa gue. Elu
pikir gua gak pinter apa? Kecil-kecil gini gua cabe rawit tau,” Asih membela
dirinya sendiri.
“Stop..stop...stop... Kalian ini
apa-apaan sih. Helow, jangan pada maen drama deh. Gua tau lu semua jago acting.
Tapi gak kaya gini juga mas bro, mbak sis..” ujar Putri datang sambil
mengipas-ngipas wajahnya dengan sehelai tisu.
“Elu Put, lu ngapain ngipas-ngipas
muka make tisu gitu?” kata Nine Ditha.
“Yeah, suka-suka gue, vroh. Tisu
juga tisu gua.”
“Bukannya gitu, Put. Lu keliatan
beda aja jadinya.”
“Ya, Put dengerin tuh,” ujar Madon.
“Oke,oke, nice,nice. Yaudah gua
kalah deh.”
Beruntung ada Putri yang mampu
mencairkan suasana. Asih dengan gesit menumpuk soal dan jawaban. Namun, di sisi
lain tentu saja sial bagi diriku sebab tiada satupun soal yang hingga kini
belum kukerjakan. Karena soal matematika itu terdiri dari dua puluh soal
pilihan ganda dan lima soal esai, maka aku betul-betul berharap pilihan ganda
menjadi penyumbang skor terbanyak untukku. Dengan waktu yang masih tersisa
menjelang detik-detik bel istirahat akan berbunyi, maka akupun menjawab soal
pilihan ganda dengan menalarnya sendiri tanpa menggunakan cara. Akhirnya semua
soal pilihan ganda selesai kujawab. Masih ada waktu satu menit, lalu perlahan
aku gerakkan pensil sambil berbisik, “Aku bisa...aku bisa....aku pasti
bisa...dan aku tidak akan mendapat nilai nol.”
Bel pun berbunyi hingga mengagetkan
semua penghuni ruangan, kecuali Si Manusia Setengah Dewa. Pak Dedi Auron pun
langsung berdiri lalu dengan tegas memerintahkan semua muridnya untuk
mengumpulkan soal. Akupun semakin lancar mengerjakan, tapi tiada sepenuhnya
yakin akan berujung diatas enam, tujuh atau delapan. Ya, setidaknya aku telah
berusaha mengerjakannya. Soal hasil, kuserahkan kepada-Nya.
***
Sehari kemudian. Pak Dedi Auron
masuk. Semua anak terkejut plus terpukau. Sorot mata guru matematika itu begitu
menyala merah. Penampilannya menggunakan topi mirip tompi, dasi kupu-kupu warna
hitam, syal abu-abu, kemeja putih dilapisi blazer buatan negeri Paman Sam,
celana jeans terketat dan termahal di kutub utara serta sepatu jaman dulu di
era penjajahan Belanda. Aduh, perasaan jadi tidak nyaman. Langkah kakinya
semakin membuat diriku gugup. Tidak lama setelah itu, dengan sekuat tenaga
membanting soal ke meja guru. Satu, dua hasil ulangan berjatuhan. Pak Dedi
Auron memungut soal-soal yang berserakan.
“Oke anak-anak, siap-siap menjerit,
menangis, tertawa, jungker balik dan lompat-lompat setinggi-tingginya karena
sebentar lagi akan saya umumkan hasil ulangan kemarin!”
Menjelang namaku disebut, jantungku
berdegup cepat, urat nadi seolah putus. Sepanjang nama-nama yang telah
disebutnya, aku berdoa. Semoga hari ini, aku tidak mengecewakan guruku.
“AD...” ucapnya. Pak Dedi Auron
tidak segera melanjutkan pembicaraannya. Dia sepertinya ingin membuatku semakin
deg-degan, “....nilaimu empat puluh sembilan.”
“Alhamdulillah, nilaiku tidak jadi
nol, setidaknya mendekati angka lima puluh,” aku bergumam.
“Etss...tunggu dulu, ini kertas
ulangan kamu seminggu kemarin. Jadi, hasil nilai kamu saat ulangan kemarin
adalah....75,” ujar guru matematikaku itu.
Aku benar-benar tiada percaya.
Mungkin karena kemarin aku sedang beruntung. Dan hari ini keajaiban datang. Sontak
saja tepuk tangan menyambutku saat aku beranjak dari kursi dan meraih nilai
dari Pak Dedi Auron. Tapi entah mengapa saat kupandang wajah Asih tampak
cemberut. Air mata keluar menghiasi pipinya. Akupun mendekati Asih dan cukup
mengejutkan, nilai Asih adalah empat puluh sembilan.
“Ya sudah, Asih jangan mewek.
Menurutku, kamu kan pintar, mungkin karena kemarin kamu sakit atau karena
banyak pikiran.”
“Tapi masalahnya, nilaiku baru kali
ini di bawah lima puluh.”
“Asih, semua orang kan berhak pintar
dan cerdas. Aku sekarang menyadari bahwa kita dituntut tidak hanya pintar saja,
tetapi juga cerdas. Orang pintar dapat dikalahkan orang cerdas, tetapi orang
cerdas dapat dikalahkan oleh orang bejo dan orang yang bejo pun tidak dapat
dimenangkan oleh orang yang mendapat keajaiban. ”
“Jadi, aku tidak bodoh kan?”
tanyanya dengan terisak.
“Siapa bilang kamu bodoh. Tidak ada
manusia yang terlahir bodoh, apalagi sempurna. Kita kan manusia biasa, ya pasti
ada kekurangan dan kelebihan.”
Asihpun tersenyum, begitupun dengan
diriku. Pada akhirnya pelajaran matematika akan menjadi tantangan baru untuk
dapat dipecahkan. Siapapun punya hak untuk bisa matematika jika dengan doa dan
usaha. Karena sesuai janji Allah, Kun Fayakuun, jika Allah berkehendak jadilah,
maka jadilah.
Jakarta,
08 Juli 2015
(Dirham
Adenar)
Cerita ini hanya
fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, waktu dan peristiwa
ataupun cerita, hanyalah kebetulan
semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Like, Share,
Kritik dan Saran (Komentar) sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas karya
di masa yang akan datang
Terima kasih
atas kunjungannya
0 Response to "BULAN BAHASA - CerPen "MANUSIA-MANUSIA SETENGAH DEWA DAN KEPOMPONG""
Post a Comment